Hadirkan Narasumber dari IDI, Akademisi, dan Pengadilan Tinggi, Civitas Akademika FH-Unizar Gelar Kuliah Tamu tentang Masa Depan Pengadilan Medis
UNIZAR NEWS, Mataram – Civitas Akademika Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Al-Azhar (Unizar) mengundang 3 (tiga) tamu yang sungguh luar biasa, pada Sabtu (15/10). Ketiga tamu tersebut hadir sebagai narasumber dalam acara Kuliah Umum FH-Unizar yang mengusung tema “Masa Depan Pengadilan Medis sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Kesehatan di Indonesia” yang bertempat di Gedung Teater Ahmad Firdaus Sukmono Unizar. Acara dimulai pukul 09.00 Wita, diawali dengan menyanyikan Lagu Indonesia Raya, Hymne Unizar, dan Mars Unizar.
Narasumber pertama yakni Wakil Ketua I Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), dr. Ahmad Fadhli Busthomi, M. Biomed, Sp. OG. Narasumber kedua adalah perwakilan dari akademisi, seorang Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara dan Administrasi di Universitas Mataram, Prof. Dr. H. M. Galang Asmara, SH., M.Hum. Narasumber terakhir adalah Hakim Utama di Pengadilan Tinggi Mataram, Dr. I Ketut Sudira, SH., MH.
Narasumber pertama, dr. Ahmad Fadhli Busthomi, M. Biomed, Sp. OG, menjabarkan Perspektif Teoritis. Menurutnya, “Penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien adalah jika timbul ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan. Ketidakpuasan ini dikarenakan adanya dugaan kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan tugasnya, sehingga menyebabkan kerugian pada pihak pasien. Seringkali sebab terjadinya sengketa medik karena informasi medik yang kurang lengkap, terlambat disampaikan, atau bahkan salah memberikan informasi sehingga berimbas pada tindakan medis yang dilakukan. Kerugian yang diderita pasien karena adanya kelalaian atau kesalahan dari dokter bisa disebut sebagai malpraktik medik.”
“Berdasarkan perangkat peraturan dan prosedur penyelesaian sengketa yang ada saat ini, sengketa medik dapat diselesaikan melalui jalur hukum maupun jalur etika. Dari jalur hukum, bisa melalui Hukum Perdata, Hukum Pidana, ataupun Hukum Perlindungan Konsumen. Dalam dunia kedokteran pun dikenal yang namanya “resiko medis”, yaitu kemungkinan terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan oleh pasien maupun dokter dalam rangkaian proses tindakan medis, baik dari resiko cidera, cacat, hingga kematian. Bahkan resiko medis juga dapat terjadi pada tempat fasilitas pengobatan, misalnya rumah sakit, klinik, apotek, dan lain-lain. Selama dokter sudah menerapkan standar operasional pelayanan dengan benar, maka resiko medis yang terjadi tidak dapat disalahkan kepada dokter.” ungkap dr. Ahmad Fadhli.
Narasumber kedua, Prof. Dr. H. M. Galang Asmara, SH., M.Hum, menyampaikan bahwa keinginan akan adanya “Pengadilan Medis” sebagai lembaga penyelesaian sengketa kesehatan di Indonesia sudah lama diwacanakan, namun hingga saat ini, pengadilan yang dimaksud belum terbentuk. Dalam rangka mewujudkan keinginan tersebut, IDI bahkan telah menyusun dan mengusulkan pasal-pasal mengenai pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis untuk dimasukkan ke dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Namun, ketika UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tersebut disahkan, pasal-pasal yang diusulkan tidak muncul. Dengan kata lain, usul pembentukan lembaga peradilan medis tidak terkabulkan.
Tidak berhenti sampai di sana, Dr. Ketut Sudira juga memberikan perspekstifnya dari kacamata Lembaga Penyelesaian Sengketa Kesehatan.
“Model Pengadilan Khusus Medis itu seperti apa? Banyak yang berpendapat harus dengan hakim adhoc. Nah, hakim adhoc diperlukan dalam peradilan Indonesia adalah karena ada anggapan bahwa hakim karier, dari segi keilmuan, semuanya adalah generalist, bukan spesialist. Kebutuhan spesialist ini sifatnya kondisional, yakni hanya bila pemeriksaan perkaranya membutuhkannya. Jika di tiap pengadilan negeri ada hakin adhoc perkara medis, sementara perkara medis relatif kecil, dapat dibayangkan adanya pengangguran intelektual. Oleh karenanya, solusi yang saya tawarkan adalah tidak perlu dibentuk pengadilan khusus medis, tetapi tata cara penyelesaian perkara medis perlu dibuat regulasinya, setidak-tidaknya berupa Perma (Peraturan Mahkamah Agung, red),” jelas Dr. Ketut Sudira.
Pada akhir acara, civitas akademika FH-Unizar melakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Fakultas Hukum Unizar dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Kota Mataram, ditandatangani langsung oleh Wakil Dekan I FH-Unizar, Dr. Sri Karyati, SH., MH, dan perwakilan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Kota Mataram, dr. Akhda Maulana, Sp.U.
Penandatanganan perjanjian kerjasama ini dilakukan di Ruang Rapat GA8 Gedung Rektorat Universitas Islam Al-Azhar, disaksikan oleh Wakil Dekan II FH-Unizar, Sumarni, SH., MH; Wakil Dekan III FH-Unizar, Haerani, SH., MH; dan segenap civitas FH-Unizar. Dalam penandatangan tersebut disampaikan bahwa perjanjian kerjasama ini dilatarbelakangi dengan keinginan memajukan Dharma Perguruan Tinggi yang berkaitan dengan pengajaran, pengabdian, penelitian, serta pendampingan hukum. (Editor: Adi Prayuda/Humas)