Lima Mahasiswa FH Unizar Mengikuti Seminar Hukum di Kejaksaan Tinggi NTB terkait Implementasi Restorative Justice
UNIZAR NEWS, Mataram – Bertempat di Aula Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB) telah dilangsungkan Seminar Hukum terkait Implementasi Restorative Justice terhadap Pelaku dan Korban TIndak Pidana, pada Senin (18/7). Lima mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar (FH Unizar) berkesempatan mengikuti seminar di aula tersebut. Acara dimulai tepat pukul 08.00 wita dan dihadiri kurang lebih oleh 60 (enam puluh) peserta dari berbagai kalangan, baik itu dari kalangan pegawai kejaksaan, anggota Ansor, anggota mediasi, anggota Badan Keuangan NTB, dan tentunya dari kalangan mahasiswa.
Kelima mahasiswa FH Unizar yang hadir pada acara tersebut, yakni Mohammad Rizaldi, Rois Hadianto, Lale Mika Trisanti, Putri Andari Susmawanti, dan Bayu Aftiar. Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut, yaitu Dr. Ufran, S.H., M.H dan Ikeu Bachtiar, SH., M.H. Dr. Ufran, S.H., M.H merupakan dosen di Fakultas Hukum Universitas Mataram bagian Hukum Pidana, sedangkan Ikeu Bachtiar, SH., M.H adalah Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati NTB. Bertindak sebagai moderator acara adalah Dezi Setia Permana, S.H., M.H.
Pengiriman kelima mahasiswa FH Unizar tersebut merupakan tindak lanjut dari surat yang dikirimkan pihak Kejati NTB kepada Rektor Unizar. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Dekan III FH Unizar, Haerani, SH., MH.
“Surat dari Kejati NTB ditujukan kepada Rektor, kemudian didisposisi kepada Dekan FH dan saya sebagai Wakil Dekan bidang kemahasiswaan. Isi surat tersebut adalah permohonan pengiriman delegasi mahasiswa untuk mengikuti seminar dalam rangka menyambut Hari Bhakti Adhyaksa yang jatuh pada tanggal 22 Juli dengan tema besarnya di tahun ini adalah Kepastian Hukum, Humanis Menuju Pemulihan Ekonomi. Saat ini, di kampus sebenarnya sedang libur, tapi anak-anak (mahasiswa, red) semangat untuk berpartisipasi mengikuti seminar tersebut,” jelas Haerani.
Tentunya banyak ilmu yang diperoleh selama mengikuti seminar hukum yang berlangsung di ruangan lantai 4 (empat) tersebut. Rois Hadianto, mahasiswa FH Unizar, mengatakan bahwa materi acara tersebut merupakan hal yang baru pertama dia dapatkan.
“Temanya sangat menarik yaitu implementasi restorative justice terhadap pelaku dan korban tindak pidana. Ini merupakan sebuah pengetahuan atau ilmu baru yang saya dapati. Karena restorative justice atau disingkat RJ ini hadir di tengah tengah masyarakat, khususnya di dunia hukum pidana membawa inovasi terbaru dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Sebagaimana yang kita ketahui, hukum pidana yang biasa menyelesaikan suatu permasalahan dengan proses pemidanaan, kini dengan hadirnya restorative justice berubah menjadi sistem dialog atau mediasi,” ujar Rois.
Rois menambahkan, “Dalam sistem restorative justice ini korban dan pelaku ikut serta atau berperan aktif dalam menyelesaikan masalahnya yang tentunya mempunyai tujuan untuk menciptakan suatu keadilan, keharmonisan, dan kesepakatan antara korban dan pelaku. Restorative justice hadir sesuai apa yang di jelaskan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja: Hukum adalah sarana dalam pembaharuan masyarakat.“
Mahasiswa FH Unizar yang lainnya, Lale Mika Trisanti, menjelaskan kembali poin-poin penting yang didapatkannya ketika mengikuti seminar yang berlangsung hingga pukul 12.00 siang itu.
“Hukum yang berlaku saat ini akan memiliki daya berlaku efektif bila selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat. Kita tahu bahwa Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, dimana Undang-Undang menjadi sumber hukum yang utama. Namun, banyak sekali isu-isu penegakan hukum yang kita dengar bahwa hukum itu “tajam ke bawah – tumpul ke atas”. Dan ketidakadilan dalam penegakan hukum ini justru menjadi trend di dalam masyarakat. Hal tersebut direspon oleh Kejaksaan Republik Indonesia dengan mengeluarkan pedoman No. 15 tahun 2020, tanggal 21 Juli 2020, tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Orientasi pembalasan bergeser ke arah pemulihan kembali pada keadaan semula untuk keseimbangan, perlindungan, dan kepentingan korban,” ujar Lale Mika.
Putri Andari Susmawanti memaparkan materi yang didapatkan selama mengikuti seminar bahwa restorative justice menjawab tantangan kehidupan penegakan hukum di Indonesia saat ini.
“Restorative Justice ini tidak bisa disimpulkan secara khusus karena banyak sekali pendapat yang berkembang dari para ahli. Secara umum, restorative justice ini adalah pemutusan perkara di luar pengadilan yang meliputi korban, keluarga korban, pelaku, dan keluarga pelaku. Landasan filosofisnya adalah adanya kepastian hukum, ketertiban hukum, kebenaran berdasarkan hukum, dan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta nilai-nilai kemanusiaan. Restorative Justice ini juga mempunyai beberapa syarat di dalam penerapannya, yaitu tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, denda atau ancaman pidana atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, dan nilai kerugiannya itu tidak lebih dari Rp. 2.500.000. Jadi, dapat disimpulkan bahwa restorative justice menjawab tantangan kehidupan penegakan hukum di Indonesia saat ini,” jelas Andari.
Selaras dengan yang dikatakan rekan-rekannya di FH Unizar, Mohammad Rizaldi memberi pemaparannya, “Peran restorative justice sangat penting dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum. Karena seperti yang kita tahu bahwa, pada dasarnya, Ultimum Remedium memiliki pengertian bahwa hukum pidana hendaknya dijadikan sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Jadi, dengan adanya restorative justice ini bisa meminimalisir permasalahan yang akan dibawa lebih jauh ke ranah hukum pidana. Dan kata-kata yang saya dapatkan dari bapak Dr. Ufran, S.H., M.H yaitu: Tidak semua perdamaian melahirkan permaafan. Maka dari itu, diharapkan dengan adanya restorative justice ini akan melahirkan permaafan dari sebuah perdamaian antara kedua belah pihak.” (Adi Prayuda/Humas)