Pencegahan Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan menjadi Tema Diskusi Publik yang diselenggarakan BEM Fakultas Hukum Unizar
UNIZAR NEWS, Mataram – Para mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Al-Azhar (Unizar) menggelar Diskusi Publik dengan tema “Pencegahan Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan”. Acara ini berlangsung pada hari Sabtu (22/10). Tidak tanggung-tanggung, 3 (tiga) narasumber ambil bagian dalam diskusi publik yang berlangsung dari pukul 09.00 – 12.00 Wita ini. Puluhan mahasiswa FH-Unizar pun hadir memadati Gedung Teater Ahmad Firdaus Sukmono Unizar.
Narasumber pertama adalah Dekan FH-Unizar, yang juga merupakan Ketua HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia) NTB periode 2018-2023, Dr. Ainuddin, S.H., M.H. Narasumber kedua adalah Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Perempuan DP3AP2KB (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana) Provinsi NTB, H. Hamzan Wadi, S.E., M.M. Narasumber ketiga adalah Aiptu Sri Rahayu, S.H., yang menjabat sebagai PS. Kasubnit 1 Unit IV Sat Reskrim (Satuan Reserse dan Kriminal) Polresta Mataram.
Dalam pemaparan materinya, Dr. Ainuddin menegaskan bahwa saat ini kita tidak lagi menghadapi penjajahan oleh bangsa asing, tetapi ada bentuk penjajahan lain yang masih terjadi di lingkungan sekitar kita, yakni Kekerasan Seksual (KS).
“Kekerasan Seksual di lingkungan pendidikan merenggut kemerdekaan pelajar untuk mengembangkan potensi dirinya dengan sehat, aman, nyaman, dan optimal. Kekerasan seksual dengan berbagai bentuknya menimbulkan kerugian yang dialami oleh mahasiswa maupun pendidik dan tenaga kependidikan, sehingga menjadi penghambat, bahkan menghilangkan kesempatan untuk belajar dan bekerja,” urai Dr. Ainuddin.
Beliau menambahkan bahwa sangat penting membahas tema pencegahan kekerasan seksual di dunia pendidikan, khususnya Universitas, agar tercipta kampus yang sehat, berintegritas, dan inovatif, serta ruang akademis yang kondusif.
Sebagai dosen di Fakultas Hukum Unizar, tentunya Dr. Ainuddin juga menjabarkan terkait hal-hal apa saja yang termasuk kekerasan seksual dalam Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021.
“Menurut Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021, yang termasuk Kekerasan Seksual adalah tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi, diantaranya menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan identitas gender, menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, siulan yang bernuansa seksual, menatap dengan nuansa seksual, menyebarkan informasi terkait tubuh yang bernuansa seksual, mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi pada ruang yang bersifat pribadi, memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual, dan sebagainya. Oleh karenanya perlu adanya mekanisme pendampingan dan membantu yang diduga mengalami KS,” jelasnya.
Dari pemaparan narasumber yang pertama ini, diketahui pula ada 2 (dua) upaya dalam tindak lanjut KS, yang dibagi menjadi Pelayanan Korban dan Penindakan Pelaku. Pelayanan Korban meliputi 3 (tiga) upaya, diantaranya upaya awal, lanjutan, dan pemulihan. Upaya awal diantaranya medis, pendataan, konseling, pendampingan, perlindungan keamanan, penyediaan tempat tinggal, dan perlindungan kerahasiaan. Upaya lanjutan disesuaikan dengan kebutuhan dan dilakukan sejak adanya pengaduan. Upaya pemulihan meliputi layanan kesehatan, pendampingan psikologis, rujukan bimbingan rohani, dan jaminan kelanjutan pendidikan/pekerjaan. Penindakan Pelaku meliputi pelaporan melalui Unit Layanan Terpadu/Prodi/Fakultas/LPBH (Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum), rekomendasi tindak lanjut, pemeriksaan komite etik, dan rekomendasi komite etik penindakan.
Narasumber kedua, H. Hamzan Wadi, S.E., M.M, memaparkan beberapa isu strategis terkait perempuan dan anak, diantaranya rendahnya kualitas SDM dan kualitas hidup perempuan dan anak; meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan, baik di masyarakat umum, maupun dunia pendidikan; dan meningkatnya perkawinan anak, sehingga perlu adanya pilar perlindungan.
“Pilar yang pertama adalah pencegahan, kemudian penanganan, setelah itu pemberdayaan, dan yang terakhir partisipasi. Hal-hal tersebut perlu ditunjang dengan berbagai strategi, diantaranya penguatan kelembagaan, penguatan gerakan masyarakat anti kekerasan terhadap perempuan, peningkatan kualitas pelayanan kekerasan terhadap perempuan, termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO), penguatan sistem data dan informasi, serta kolaborasi pemerintah dengan lembaga non-pemerintah untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak,” beber Alumnus Universitas Mataram jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangungan (IESP) ini.
Dari data simfoni PPA yang ditampilkan Kabid Perlindungan Perempuan DP3AP2KB NTB ini, diketahui bahwa data kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTB meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2019 tercatat 545 kasus, dan yang terbanyak terjadi di Kota Bima (119 kasus). Tahun 2020 meningkat menjadi 845 kasus, yang terbanyak terjadi di Kabupaten Lombok Timur (177 kasus). Tahun 2021 meningkat lagi menjadi 1.060 kasus, dengan data paling banyak masih berada di Kabupaten Lombok Timur (390 kasus). Tahun ini, sampai tanggal 18 Oktober 2022, tercatat ada 722 kasus. Kabupaten Lombok Timur tercatat masih yang tertinggi, yakni 199 kasus.
Narasumber dari Polresta Mataram, Aiptu Sri Rahayu, S.H., mengungkapkan hasil temuan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN).
“Hasil dari SPHPN menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan, usia 15-64 tahun, mengalami kekerasan oleh pasangan dan selain pasangan selama hidup mereka. Sekitar 1 dari 10 perempuan mengalaminya dalam 12 bulan terakhir,” papar Aiptu Sri Rahayu, S.H.
Selain memaparkan data KS di Wilayah Hukum Polresta Mataram, beliau juga memaparkan terkait 3 bentuk KS berbasis elektronik, diantaranya Cyber Grooming, Impersonation, dan Spamming.
“Cyber grooming itu bentuknya pelaku mendekati korban untuk mendapat kepercayaan, lalu meminta data pribadi yang bersifat intim dan seksual. Impersonation itu pelaku membuat akun palsu atas nama korban yang berisi penghinaan, terutama konten pornografi untuk mempermalukan korban. Spamming terjadi ketika pelaku membanjiri korban dengan komentar cacian dan hinaan bermuatan seksual, dan biasanya secara anonim,” urai Alumnus Unizar ini.
Keseluruhan acara Diskusi Publik ini berlangsung dengan lancar dan kondusif, disertai antusiasme dari para mahasiswa, khususnya mahasiswa FH-Unizar, yang mengajukan banyak pertanyaan. Turut hadir juga dalam acara ini adalah Wakil Dekan I FH-Unizar, Dr. Sri Karyati, SH., MH., Wakil Dekan III FH-Unizar: Haerani, SH., MH, dan segenap civitas akademika FH-Unizar. (Adi Prayuda/Humas)