email : mail@unizar.ac.id

Dr. Ary Wahyudi: Pemilu di Indonesia Harus Dievaluasi secara Mendalam

Dr. Ary Wahyudi, SH., MH, seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar (Unizar)
Dr. Ary Wahyudi, SH., MH, seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar (Unizar)

UNIZAR NEWS, Mataram – Pemilu merupakan pesta demokrasi yang diadakan secara berkala dalam rangka memilih pemimpin yang dianggap mampu memimpin negara dengan baik. Namun, apakah pemilu di Indonesia selama ini berjalan normal dan ideal seperti pemilu di negara maju? Menurut Dr. Ary Wahyudi, SH., MH, seorang dosen di Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Al-Azhar (Unizar), pemilu di Indonesia masih jauh dari kata ideal karena banyak hal yang perlu dievaluasi secara mendalam.

“Pemilu yang ideal harus jujur dan adil, namun di Indonesia, pemilu seringkali dipandang kurang mampu membawa perubahan secara menyeluruh dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Hal ini disebabkan karena pemilu di Indonesia masih sering dipandang hanya sebagai formalitas semata, tidak seperti pemilu di negara maju yang fokus pada ide, gagasan, dan program. Materi kampanye di Indonesia memang diatur dalam UU Pemilu, namun pada prakteknya seringkali tidak demikian,” ujarnya.

“Selain itu,” beliau menambahkan, “biaya besar yang dikeluarkan untuk pemilu yang hanya berlangsung 1 hari juga perlu menjadi perhatian. Di India, pemilih hampir 900 juta dengan 36 hari pelaksanaan pemilu, sedangkan di Indonesia, dengan jumlah pemilih sekitar 190 juta, hampir memakan waktu 22 bulan atau hampir 2 tahun untuk pelaksanaannya. Hal ini tidak efektif dan efisien dari sisi biaya dan membuat masyarakat cenderung apatis terhadap pemilu karena tidak merasakan perubahan yang signifikan terhadap kondisi ekonomi mereka.”

Dr. Ary juga mengungkapkan bahwa pemilu di Indonesia tidak menjadi bagian dari hak dan kewajiban masyarakat. Di Australia, masyarakat didenda bila tidak datang ke TPS pada hari pemilu, sedangkan di Indonesia tidak. Konsep demokrasi yang dibangun di Indonesia juga kurang mengena kepada masyarakat, sehingga tingkat literasi masyarakat terkait pemilu masih rendah.

Produk dari pemilu adalah para pemimpin dengan segala kebijakannya. Namun, menurutnya, kebijakan yang diambil tidak selalu mencerminkan wellfare state theory yang mengutamakan kesejahteraan rakyat. Apakah sistem pemilihannya atau sistem rekruitmen calon pemimpinnya atau bahkan literasi masyarakat yang rendah terkait pemilu yang menjadi penyebab kesalahan ini?

Beliau menyarankan bahwa perlu ada evaluasi mendalam terkait pemilu di Indonesia agar dapat menjadi pemilu yang ideal dan berjalan normal. Pemilu harus menjadi bagian dari hak dan kewajiban masyarakat serta diadakan secara jujur dan adil, dengan materi kampanye yang berfokus pada ide, gagasan, dan program. Pemilu juga harus diadakan dengan biaya yang efisien dan efektif, serta mendorong literasi masyarakat terkait pemilu. Dengan demikian, hasil dari pemilu dapat mencerminkan wellfare state theory dan memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi rakyat. (Adi Prayuda/Humas)

Berita Terkait